RANDI CLIQUERS SEJATI BLOG

Rabu, 15 Desember 2010

Pentingnya Arti Sebuah Regenerasi

Ditulis Oleh: Bepe, waktu: 29 May 2008, pada kategori:Tim Nasional
Akhir-akhir ini harus kita semua akui bahwa kondisi persepakbolaan di negara kita tercinta ini sedang dalam keadaan yang sangat kurang baik, jika kita tidak ingin menyebutnya dengan kata sekarat. Sebuah negara yang 20 atau 30 tahun yang lalu konon menjadi salah satu kekuatan di kawasan asia ini sekarang hanyalah menjadi sebuah tim pelengkap di berbagai turnamen. Jangankan berbicara di level dunia atau Asia, di level regional Asean saja kita masih sangat sulit. Terakhir kita mampu menjadi juara di Asean atau SEA Games adalah pada tahun 1991 atau 17 tahun yang lalu. Tentu itu suatu hal yang sangat ironis mengingat Indonesia merupakan negara yang sempat memiliki liga terbesar di dunia, dengan jumlah tim di divisi utama mencapai 36 tim, rasanya di belahan dunia manapun tidak ada yang sanggup menandingi kita dari segi jumlah kontestan. Akan tetapi dengan jumlah yang begitu besar mengapa sangat sulit bagi negara ini untuk membentuk sebuah tim nasional yang tangguh dan berkualitas. Salah siapakah sebenarnya..?
Jika kita mencari kesalahan demi kesalahan tentu tidak akan pernah ada ujungnya, disaat negara-negara lain mulai berlari kita terkesan hanya berjalan di tempat. Orang selalu berbicara bahwa dahulu Jepang belajar bermain bola dan belajar menggelar sistem kompetisi dari kita, dahulu kita pernah menahan imbang Rusia O:O di Melbourne, kita pernah hampir lolos ke Olimpiade Montreal, bahkan kita pernah ambil bagian dalam penyelenggaraan pertama Piala Dunia ketika masih bernama Hindia Belanda, dll. Menurut saya saat ini kita hanyalah menjadi negara yang suka bernostalgia, kita hanya mengingat hal-hal yang terjadi pada jaman dahulu, padahal sejujurnya itu semua sudah menjadi bagian dari sejarah panjang sepakbola negeri ini. Jika kita selalu membanding-bandingkan dan hanya mencari kesalahan-kesalahan tanpa mencari solusi yang tepat untuk mengatasi keterpurukan kita, rasanya mimpi untuk memiliki sebuah tim nasional yang tangguh di masa yang akan datang hanyalah sebuah mimpi di siang bolong…
Mengapa kita tidak bersikap dewasa dengan duduk bersama untuk berdiskusi,berkoordinasi,mengeluarkan ide-ide serta mencari terobosan-terobosan yg sekiranya tepat agar kondisi persepakbolaan kita ini mempu berdiri tegak seperti sediakala,bukan tugas yg mudah memang dan juga memerlukan waktu yg juga tidak singkat,akan tetapi jika tidak kita mulai dari sekarang kapan lagi hati kita akan tergerak untuk menyelamatkan keadaan yg sudah sedemikian parah ini,apakah kita akan menunggu sampai persepakbolaan negara kita ini benar-benar hancur berantakan dan mati suri.Awal sekali tentu yg harus kita perbaiki adalah pondasi dari persepakbolaan kita itu sendiri,yg saya maksut dengan pondasi disini adalah sistem pembinaan usia dini serta sistem kompetisi yg kita miliki,karena untuk membentuk sebuah tim nasional yg tangguh di butuhkan tatanan pembinaan serta sebuah kompetisi yg juga bagus serta kondusif.Selama ini kita selalu mencoba jalan yg instan dengan mengirim sebuah tim nasional berlatih di luar negeri selama beberapa bulan atau bahkan tahunan,akan tetapi harus kita akui bahwa jalan itu ternyata buntu dan terkesan menghambur-hamburkan uang karena tim nasional yg tangguh tidak juga terwujut..
Mengapa kita tidak mulai lagi dengan hal yang sangat mendasar, lupakan hal-hal yang selama ini telah terlanjur salah. Mari kita kembali kepada sistem pembinaan usia dini yang terprogram dan berjenjang. Mengapa tidak kita perbanyak kompetisi dari usia dini dan mari kita beri kesempatan kepada bibit-bibit muda ini untuk terus mengasah diri dan berkembang. Mari kita beri kesempatan para talenta muda kita untuk unjuk gigi, sehingga kita harapkan pada saatnya nati kita mampu melihat mereka menjadi pemain-pemain yang tangguh. Jika kita kembali menegok kepada sistem kompetisi kita saat ini, saya melihat kesempatan para pemain muda untuk menimba ilmu dan serta merasakan atmosfer kompetisi yang ketat sangatlah kurang. Dengan peraturan 5 pemain asing dalam setiap klub, membuat talenta-talenta muda kita seakan terpinggirkan oleh ramainya para pemain asing yang mengadu peruntungan di negeri kita ini. Dengan kuota 5 pemain asing tentu setiap klub akan lebih mengedepankan para pemain asing dari pada para pemain muda kita, untuk meraih ambisi setiap klub agar menjadi yang terbaik. Dan menurut saya ini adalah kesalahan terbesar dalam sistem kompetisi kita yang pada akhirnya nanti boro-boro kita akan memiliki sebuah tim nasional yang kuat akan tetapi bisa jadi talenta-talenta muda kita akan hilang dengan sendirinya sebelum mereka berkembang..
Jika kita tengok ke tubuh tim nasional senior kita saat ini, berapa banyak pemain muda yang mampu menembus ke dalam squad, mungkin kita masih bisa hitung dengan jari. Rata-rata kita masih mempercayai para pemain yang berusia 27 keatas, tentu ini bukan hal yang baik untuk regenerasi timnas kita. Dalam hal ini lebih spesifik saya ingin mengomentari posisi pemain depan di dalam squad tim nasional kita. Untuk saat ini kita masih mengandalkan para pemain yang sudah cukup malang melintang menghuni tim dan matang secara usia, sebut saja Bambang Pamungkas (28 tahun), Aliyudin (28 tahun) serta Saktiawan Sinaga (26 tahun) memang mereka masih dalam masa keemasan, akan tetapi 2 atau 3 tahun lagi siapa yang akan menggantikan mereka, kemana para striker muda kita dari squad U-19, U-21 atau U-23. Itu semua terjadi karena hampir semua kontestan Liga Indonesia lebih mengandalkan para striker asing dalam mengarungi ketatnya kompetisi, mungkin hanya Persija Jakarta yang musim lalu lebih banyak mengandalkan pemain lokal pada diri Bambang Pamungkas dan Aliyudin. Jika kita lihat pada daftar pencetak gol terbanyak, nama-nama para pemain asing terlihat sangat dominan, tercatat hanya Bambang Pamungkas(17 gol), Aliyudin(17 gol), Boaz Salosaa(13 gol) dan Kurniawan D.J. dengan (12 gol) selain itu para pemain lokal kita tidak ada yang menyentuh angka 10 gol..
Seharusnya fakta ini mampu membuat PSSI berpikir ulang dalam menentukan kuota untuk pemain asing, dengan fakta yang seperti ini sudah sepantasnya kita mengurangi jumlah 5 pemain asing menjadi 4 pemain, dengan kondisi 3 pemain menjadi starter dan 1 pemain menjadi cadangan, saya rasa jumlah itu adalah solusi yang menguntungkan semua pihak. Dengan 4 pemain asing, sebuah tim tetap bisa menjadi tim yang kuat dan para pemain muda pun akan lebih mendapat kesempatan untuk mengasah kemampuan mereka sampai batas maksimal. Karena jika kita mau sedikit menegok kebelakang pada tahun 1999-2003 di saat jumlah 4 pemain asing dengan sistem 3 inti dan 1 cadangan di berlakukan, talenta-talenta muda itu bermunculan. Kita masih ingat bagaimana pada saat itu banyak sekali para pemain muda mampu menembus squad tim nasional senior contohnya Bambang Pamungkas, Ellie Aiboy, Budi Sudharsono, Ismed Sofyan, Gendut Doni, Ponaryo Astaman, Jendry Pitoy, Firman Utina, Isnan Ali, Aliyudin, Zaenal Arief dan masih banyak lagi. Mereka mampu menembus squad senior karena diberi kesempatan sangat besar dalam kompetisi kasta tertinggi saat itu, sehingga mereka segera matang secara permainan serta psikologis. Semoga data ini mampu membuat para petinggi PSSI untuk kembali ke pakem lama kita dengan mengutamakan pembinaan para pemain muda, karena dengan banyaknya para pemain muda yang bermain dalam kompetisi akan membuat mereka menjadi pemain yang siap pakai pada saat mereka sudah mencapai masa-masa emas usia mereka nanti. Dan dengan sistem pembinaan berjenjang yang terprogram dengan baik sebuah timnas yang tangguh dan solid rasanya akan mampu kita hasilkan di masa-masa yang akan datang.. Semoga..










Sabtu, 11 Desember 2010

Kit

Kit used in the 1938 FIFA World Cup
Indonesia's football jersey in 1981
During the Dutch colonial era, the team competed as Dutch East Indies in international matches and played in an orange jersey, the national colour of the Netherlands. There are no official documents about the team's kit, only several black-and-white photos from the match against Hungary in the 1938 FIFA World Cup, but unofficial documents stated that the kit consisted of an orange jersey, white shorts and light blue socks.[1] After Indonesia's independence, the kit consists the colours of the country's flag, which are red and white. A combination of green and white has also been used for the away kits, and was used from the team's participation in the 1956 Summer Olympics in Melbourne, Australia, until in the mid 1980s.[2] During the 1990s, the colour changed to all-red for the home kit and all-white for the away kit. In 2007, just before the start of the Asian Cup, the original colours were restored.
The shirt badge has always been the Garuda Pancasila, Indonesia's coat of arms. This is where the inspiration of the song Garuda di Dadaku (Garuda on My Chest) came from. The song is a modified version of a Papuan folk song, Apuse, with the lyrics changed. It was made by Persija Jakarta football fans, and was popularized by Jakmania which was recorded for a movie under the same name.



National team

Indonesia, under the name Dutch East Indies, was the first Asian team to participate in the World Cup when they qualified to the 1938 tournament. A 6-0 first-round loss in Reims to eventual finalists Hungary remains the country's only appearance in the World Cup.
Dutch East Indies players line up in Reims, France in 1938 to face Hungary.
In 1958, the team tasted their first World Cup action as Indonesia in the qualifying rounds. They got past China in the first round, but subsequently refused to play their next opponents Israel. The team suffered a long hiatus from FIFA World Cup since 1958 due to an unfavourable political situation - both internally and externally. It was only in 1974 that Indonesia returned to the fold.
Indonesia's first appearance in the AFC Asian Cup was in the United Arab Emirates in 1996, Indonesia only gained one point from a draw against Kuwait in the first round. Their second appearance in Asian Cup was in Lebanon in 2000; again, Indonesia gained only one point from three games. Indonesia performed better in the 2004 AFC Asian Cup, beating Qatar 2-1 to record their first ever victory in the Asian Cup; unfortunately this was not enough to qualify for the second round. In 2007, they were the co-host of the tournament. They defeated Bahrain 2-1 in their opening match, but lost their last two ties against Asian giants Saudi Arabia and South Korea and finished third in the group and failed to reach the quarter-finals. Nevertheless, their 2007 AFC Asian Cup performance is considered as their best performance in the tournament.
Indonesia has yet to win the regional Tiger Cup, despite reaching the final three times (2000, 2002, and 2004). Their only continental titles came in the 1987 and 1991 Southeast Asian Games. A group win in the 2004 Asian Cup tournament, their first ever in that competition, may signal a rise in the side's stature on the Asian football scene. Under the guidance of former Aston Villa and England striker Peter Withe, the South-East Asian outfit looked set to continue their success in terms of football development and in the FIFA World Rankings. However on January 18, 2007, Withe was sacked due to their first round exit from the ASEAN Football Championship and replaced by Ivan Venkov Kolev. Recently Benny Dollo was appointed as the new head coach after Ivan Venkov Kolev was sacked due to the team's poor performance at the 2010 FIFA World Cup Qualifiers.
The 1998 ASEAN Football Championship tournament was one of particular controversy in regards to the Indonesian team. This tournament was marred by an unsportsmanlike match between Thailand and Indonesia during the group stage of the competition. Both teams were already assured of qualification for the semi-finals, but both teams knew that the winners of the game would face hosts Vietnam in the semi-finals, while the losing team would face Singapore who were perceived to be easier, and would avoid the fuss of moving training bases from Ho Chi Minh City to Hanoi for the semi-final. The first half saw little action, with both teams barely making an attempt to score. During the second half both teams managed to score, partly thanks to half-hearted defending, resulting in a 2–2 tie after 90 minutes. Then, during extra time, Indonesian defender Mursyid Effendi deliberately kicked the ball into his own goal, despite the Thais attempts to stop him doing so, thus handing Thailand a 3-2 victory. Both teams were fined for "violating the spirit of the game" and Mursyid Effendi was banned from football for life.
In the semi-finals, Thailand lost to Vietnam, and Indonesia also lost to Singapore. Thailand would go on to lose the third place game to Indonesia in a penalty shootout. In the final, the title was to elude the hosts as they went down 1–0 to unfancied Singapore in one of the competition's biggest shocks to date.

Jumat, 10 Desember 2010

Jelang Indonesia vs Filipina

Merah Putih Wajib Waspadai Filipina

Jum'at, 10 Desember 2010 - 04:19 wib
text TEXT SIZE :  
Share
Hendra Mujiraharja - Okezone
Skuad Indonesia merayakan kemenangan. Foto: Andika Pradipta/Okezone
JAKARTA – Meski Indonesia dipastikan menjadi tuan rumah semifinal, namun Merah Putih wajib mewaspadai kejutan yang diberikan sang lawan Filipina.

Penampilan fantastis diperlihatkan Indonesia pada ajang penyisihan AFF Cup 2010 Grup A. Skuad besutan Alfred Riedl tersebut berhasil keluar sebagai juara grup setelah meraup tiga kemenangan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).

Tiga kemenangan dicatat dengan melibas Malaysia 5-1, lalu Laos 6-0 dan Thailand 2-1. Kepastian menjadi jawara grup membuat Indonesia akan menghadapi
Filipina, yang menjadi runner-up penyisihan Grup B di Hanoi.

Filipina sendiri tak kalah cemerlang. Alexander Borromeo dkk memang hanya membukukan nilai lima dari hasil bermain 1-1 dengan Singapura, mengalahkan Vietnam 2-0, dan kembali bermain tanpa gol pada laga terakhir melawan Myanmar.

Tapi Indonesia jangan sampai meremehkan Filipina. “Kita tetap harus memperhitungkan kemenangan Filipina atas Vietnam itu, sebab bagaimana pun hal itu agak di luar perkiraan,” tegas Ketua Umum Badan Sepakbola Indonesia (PSSI) Nurdin Halid.

“Saya kira kejutan Filipina itu harus tetap diwaspadai. Apalagi mereka diperkuat beberapa pemain naturalisasi dan pemain-pemain yang berlaga di kompetisi mancanegara," tandasnya dilansir situs resmi PSSI, Jumat (10/12/2010).
(hmr)